
Hermann Hesse pernah menulis sebuah buku berjudul Narcissus dan Goldmund. Tidak seperti dongeng mengenai Narcissus yang mengagumi keindahan wajahnya di sebuah telaga, novel ini berbicara tentang pengembaraan karakter manusia untuk menemukan dirinya sendiri.
Narcissus mewakili kehiduan seorang pendeta dengan watak terstuktur dan stabil. Kehidupannya mewakili ilmu pengetahuan, logika, Tuhan dan ‘pemikiran maskulin’. Di lain pihak, sahabatnya Goldmund adalah sosok seorang anak manusia yang terus berkembang dan mencari sesuatu yang paling ideal dari hidupnya.
Baik Goldmund maupun Narcissus, bila kita membaca buku ini, maka kita akan menyadari bahwa mereka berdua menjadi gambaran dasar sebagian besar manusia. Kita hidup dan memilih untuk menjadi apa. Ada yang memilih menjadi Narcissus; mendekatkan diri dengan Tuhan sekaligus melihat kehidupan manusia lain dari kacamata dunianya yang jauh dari hiruk pikuk (biara). Sebagian yang lain hidup seperti Goldmund dalam pencarian jati diri. Pengembaraan yang dialami Goldmund mendekatkan orang-orang kepada dunia yang terisi oleh gairah, sensualitas dan bahkan nafsu. Namun demikian, melalui Goldmund pula orang pada akhirnya akan sampai pada kesadaran bahwa keseluruhan pencarian tersebut selalu bermuara pada satu hal yang utama; Tuhan.
Kasih Dan Pelayanan
Di dalam kehidupan sebuah Biara, diceritakanlah mengenai seorang pemuda bernama Narcissus. Dia adalah salah satu dari sekian banyak pemuda yang merasa dipanggil untuk hidup melayani Tuhan sehingga harus tinggal di biara untuk belajar banyak hal. Narcissus menjadi sosok idola para murid di sana, bukan hanya karena ketampanan wajah dan wataknya melainkan pula karena cara hidupnya yang luar biasa. Sebagai pemuda terpelajar, dia menjalani suatu kehidupan dengan disiplin sikap yang bahkan membuat kepala Biara harus berusaha keras menemukan sedikit saja kesalahannya.
Saking nyaris tidak tercelanya sosok Narcissus, suatu hari kepala biara berbicara kepadanya. Dia mengatakan secara terus terang kalau dia khawatir melihat Narcissus. Pemuda itu memiliki banyak penggemar dan pengagum namun tidak memiliki satu orang teman sekalipun. Selain itu, sebagai seorang anak muda Narcissus tidak pernah terlihat berkelakuan buruk. Padahal sebagai orang yang sudah tua dan bijak, kepala biara tahu manusia tidak pernah terlepas dari kekeliruan apalagi bila kita massih muda. Seorang anak muda yang normal seusia Narcissus setidaknya membuat masalah dalam pencarian jati dirinya. Jadi ada apa dengan Narcissus.
Kepala biara akhirnya berpikir satu-satunya kesalahan Narcissus adalah bersifat angkuh dengan menyembunyikan kesalahannya. Namun demikian, ketimbang meemberinya hukuman kepala biara justru mencari tahu alasan kenapa Narcissus menjalani disiplin hidup yang ketat begitu.
“...katakan apa yang kau yakini kau ini ditakdirkan untuk apa?”
“Saya percaya bahwa saya ditakdirkan di atas segalanya untuk menjalani kehidupan di biara...” jawab Narcissus. Kehidupan di biara artinya dia bisa menjadi biarawan, Imam atau Prior. Sebuah kehidupan khusus untuk melayani Tuhan dan orang lain. Sebagai kepala biara, orang tua itu sadar akan konsekuensi terhadap pilihan membiara. Semua anak lelaki yang masuk biara tidak serta merta akan menjadi biarawan. Sebagian besar dari mereka justru akan kembali ke dunia yang coba mereka taklukan.
“Bakat apa yang ada dirimu yang meyakinkanmu untuk melayani orang lain?” sekali lagi kepala biara bertanya untuk menguji keyakinan Narcissus.
“Kapasitas untuk merasakan karakter dan nasib orang,” Jawab Narcissus. Dan kepala biara merasa takjub terhadap pemahaman yang luar biasa semacam itu.
Potongan cerita di atas membuat pembaca mengenali salah satu alasan terkuat dalam tindakan mengasihi dan melayani. Baik kasih maupun pelayanan tidak bisa datang dalam bentuk perasaan, melainkan suatu tindakan nyata atas dasar kepekaan seseorang terhadap nasib dan penderitaan seseorang yang lain.
Narcissus tidak tidak memiliki sifat bawaan untuk mengasihi dan melayani orang lain sehingga dia percaya akan takdirnya untuk membiara. Sebagaimana manusia biasa lainnya, kapasitas untuk merasakan kehadiran orang lain datang dari kemauan di dalam diri untuk menumbuhkan sikap tersebut. Itulah alasan kenapa Hermann Hesse secara menggaambarkan sosok Narcissus sebagai pemuda eksentrik yang nyaris tanpa cela.
Orang lain mungkin memandang Narcissus sebagai pemuda taanpa dosa, tetapi melalui kepala biara kita akhirnya tahu bahwa narcissus menjalani kesalahan dan dosanya dengan caranya sendiri. Dia telaah memilih untuk melayani orang lain sehingga sedikit mungkin dia berjuang untuk tidak melakukan hal-hal lumrah seperti orang muda lainnya. Dia mengorbankan kesenangannya sendiri untuk bisa melayani sesama.
Mencintai Diri Sendiri
Goldmund masuk biara jauh-jauh hari setelah Narcissus. Ketika dia masuk biara dengan diantar oleh ayahnya, Narcissus sudah ada di sana menjadi idola sekaligus menjadi guru paling muda di biara. Begitu Narcissus melihat Goldmund, dia merasakan daya tarik yang luar biasa dari bocah lelaki itu. Hal yang sama terjadi pula kepada Goldmund. Pertama kali Narcissus mengajar di kelas, Goldmund terpesona selain karena ada guru yang begitu muda juga karena ada Narcissus memiliki keelokan rupa.
Keduanya lalu menjadi sahabat. Saling mengagumi keindahan rupa masing-masing dan saling merasa bahwa ada sesuatu yang mendekatkan mereka secara spiritual. Ada kecerdasan bawaan di masing-masing pihak yang membuat Goldmund dan Narcissus saling terpikat. Mereka salling merasakan kasih terhaadap satu dengan yang lain. Tentu saja bukan perasaan jatuh cinta sebagaimana pria terhadap wanita. Ikatan di antara mereka kemudian bisa diidentifikasi sebagai kedekatan antara seorang yang memutuskan hidup membiara dengan seorang anak manusia yang ingin mencari identitasnya di dunia.
Kisah persahabatan Narcissus dengan Goldmund sesungguhnya menyatakan bahwa mengasihi orang lain adalah suatu tindakan yang datang karena kita mengasihi diri sendiri. Narcissus mengasihi Goldmund karena dia secara tidak sadar dia melihat dirinya di dalam bocah lelaki itu. Goldmund memantulkan sosok Narcissus dan membuat guru muda mencintai apa yang dia lihat. Begitu juga sebaliknya, di dalam Narcissus Goldmund menemukan dirinya sendiri.
Mencintai diri sendiri tidak bisa dimaknai sebagai cinta diri atau keegoisan. Mencintai diri sendiri memiliki makna bahwa kita mengasihi kemanusiaan kita yang mana pada dasarnya kemanusiaan tersebut juga dimiliki oleh orang lain. Kesadaran bahwa kita adalah sama-sama diciptakan dari tangan yang sama, yakni Tuhan, mendorong kita untuk bercermin lalu menemukan ternyata kita sama dengan orang-orang yang tengah menderita. Di sinilah perkataan Narcissus mengenai ‘kapasitas untuk merasakan karakter dan nasib orang’ menemukan pengertiannya yang paling sederhana, yakni mencintai orang lain karena kita melihat pantulan diri kita di dalam diri mereka. Saat mereka tengah menderita, bisa diartikan bahwa kemanusiaan kita pula yang menderita di sana.
Mengasihi dan melayani orang lain yang tengah membutuhkan sesungguhnya menjadi kabar gembira bagi manusia. Kegembiraan tersebut datang karena sebagaimana domba yang hilang, kita menemukan kembali kawanan kita. Mengangkat beban penderitaan orang lain sesungguhnya meringankan beban kita sendiri jika kita sepakat bahwa kemanusian kita sesungguhnya sama. Demikianlah yang dialami oleh Goldmund. Dia pergi ke biara dan sangat bersedih jauh dari rumah, jauh dari satu-satunya keluarga yang dia miliki yakni ayahnya. Tetapi penderitaan atas kerinduan tersebut kemudian diringankan oleh kehadiran Narcissus. Dia menemukan sumber kegembiraannya melalui seseorang yang mirip dengannya.