Alasan kenapa anak bisa membenci orang dewasa
Sama halnya dengan cinta dan kasih sayang, kebencian selalu tumbuh bersama dengan kepribadian. Orang yang kita lihat selalu sabar dan baik, memiliki rasa benci di dalam dirinya seperti kita. Tidak peduli sekuat apa kita mencoba menghilangkannya, rasa benci dan perasaan negatif lainnya tetap akan ada. Itu sangat alami. Yang bisa kita lakukan adalah mengatasinya, mengendalikannya, melarutkannya dan bebas dari kuasanya.
Anak-anak tumbuh dengan perasaan itu. Jika dibuatkan sebuah daftar, maka hal-hal yang membuat seorang anak membenci orang dewasa, guru dan teman sebayanya akan sangat panjang. Anda tidak memberi anak anda izin tidur di rumah temannya, bisa membuatnya marah dan membenci anda pada saat itu. Anda menegurnya karena makan sambil bermain game, lalu anak anda akan mengamuk. Temannya mengejeknya suatu hari lalu dia menyimpan dendamnya untuk waktu yang lama. Bahkan gurunya yang sering bertindak tegas bisa mengundang rasa benci ke dalam diri anak itu.
Beberapa alasan paling mungkin memunculkan perasaan benci kepada anak-anak adalah:
1. Anak-anak masih mengidentifikasi bahwa ‘merasa senang’ adalah hal paling utama dalam hidup mereka.
Ini pola yang umum. Anak-anak pada usia 1-3 tahun dipenuhi dengan kegembiraan. Semua perlakuan terhadap mereka bertujuan untuk menyenangkan mereka. Orang dewasa memiliki kecenderungan natural dalam hal membuat anak-annak usia demikian tertawa setiap saat. Perubahan perlahan mulai terjadi pada usia selanjutnya. Begitu aturan dan disiplin mulai diterapkan ketika usia mereka beranjak, muncul pemberontakan-pemberontakan kecil. Bagi anak-anak, perubahan dari cara orang dewasa terhadap mereka tidak bagus untuk kesenangan mereka. Meskipun bagus, periode semacam ini tetap saja akan membuat anak marah dan benci kepada orang dewasa, tetapi kebencian semacam ini tidak akan menjadi perasaan berbahaya. Mereka akan selalu cepat belajar untuk mengerti orang dewasa.
2. Anak-anak mulai menyadari bahwa orang dewasa tidak selalu bisa menyenangkan mereka.
Masih berada pada masa peralihan antara menyenangkan dan mendisiplinkan, orang dewasa juga akan tampak sebagai sosok yang tidak menyenangkan lagi. Contoh kecilnya, anak usia 2 tahun sekali waktu meniru cara makan kucing peliharaan. Tampaknya akan lucu saat itu. Lalu dalam perkembangan selanjutnya, dia akan diberitahu tidak boleh lagi makan dengan cara demikian karena dia adalah manusia. Ini menjadi kejutan kecil buat mereka dan memunculkan perlawanan mereka karena tindakan mereka sebelumnya menyenangkan semua orang, sebelum akhirnya dilarang.
3. Anak-anak mulai tidak suka hidup diatur orang dewasa.
Sebelum terbiasa dengan disiplin dan aturan, selalu muncul perlawanan dari anak-anak. Mereka tidak paham mengapa sesuatu hal yang sebelumnya boleh mereka miliki atau boleh mereka lakukan sekarang mendapat pembatasan. Di tahap ini, banyak anak yang bahkan melawan dengan keras karena tidak mau diatur. Sering pula terjadi konfrontasi terbuka antara orang dewasa dengan anak. Contoh yang akhir-akhir terjadi melibatkan guru dengan murid, yang mana banyak kasus kemudian guru dinyatakan bersalah karena melanggar HAM.
4. Anak kecewa ketika orang dewasa mulai memarahinya
Memarahi anak-anak jadi satu sikap penting dalam pembentukan karakter dan kedisiplinan. Sayangnya, anak-anak belum mampu membedakan antara ‘marah’ dan ‘benci’. Untuk mereka, orang dewasa yang memarahi mereka untuk suatu kesalaahan atau pelanggaran adalah wujud perasaan benci. Oleh karenanya, anak-anak balik membenci orang dewasa atas sikapnya itu.
Sikap dan pandangan terhadap kebencian anak
Cuma satu yang penting dalam menghadapi situasi ini yaitu kesadaran bahwa anak harus melewati proses tersebut. Sekali lagi, emosi negatif yang tumbuh di dalam diri anak-anak sangat natural. Kita tidak harus menghentikannya. Orang dewasa fokus pada apa yang menjadi tugasnya, sementara anak-anak tentu saja akan menemukan bahwa apa yang mereka pikir telah membuat mereka benci kepada orang dewasa sebenarnya sesuatu yang baik.
Pertama, orang dewasa harus tahu memaknai kebencian anak. Pada anak-anak, tidak pernah ada kebencian yang sejati. Artinya, kebencian yang dimaksud di artikel hanyalah rasa marah atau rasa kecewa terhadap perubahan yang mereka alami. Sikap yang tepat adalah membiarkan anak-anak menyatakan kemarahannya, kemudian membantu mereka mengatasinya.
Kedua, jadilah orang yang terbuka. Orang dewasa tidak perlu menutupi kenyataan bahwa anak-anak membencinya (marah) sesekali. Yakinkan anak-anak kalau kita siap menangani kemarahan mereka, karena seperti halnya orang dewasa anak-anak pasti memiliki alasan untuk marah. Yang membedakan orang dewasa dari anak-anak berupa pendekatan-pendekatan terhadap suatu masalah. Emosi termasuk rasa marah sudah menjadi esensi penting dalam kehidupan, meskipun kemarahan cenderung negatif.
Ketiga, tangani kebencian atau kemarahan itu. Jangan pernah mengabaikannya. Anak-anak sudah semestinya belajar dari orang dewasa terdekat dalam hal menangani kemarahan. Anak-anak selalu marah paada hal yang sepele bagi orang dewasa, sehingga pelatihan emosi mulai dari hal sepele sebenarnya fondasi kuat bagi mereka. Orang dewasa yang cerdas menangani emosi telaha melewati proses kecil ini dengan baik.
Membahagiakan atau menyenangkan?
Akan menjadi kesalahan besar jika orang dewasa berpikir untuk selalu menyenangkan anak-anak. Perbedaan besar antara membahagiakan anak dan menyenangkan anak terletak pada tindakan orang dewasa pada suatu situasi tertentu. Misalkan seorang anak mendapat permen setelah dia pertama kali berhasil membereskan mainannya. Ini tentu menyenangkan bagi anak itu. Pada lain waktu dia tentu akan membereskan mainannya dan berharap mendapat permen lagi. Orang dewasa yang hanya berorientasi untuk menyenangkan anak, akan memberikan permen yang lain tanpa menyadari bahwa ada yang salah dengan orientasi anak kecil itu saat membereskan mainannya.
Membahagiakan anak pendekatannya seharusnya lebih kepada mempersiapkan anak itu menghadapi kehidupannya di kemudian hari. Dengan pendekatan ini, maka orang dewasa mau tidak mau harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dia tidak bisa menyenangkan anaknya setiap saat. Ada situasi dimana dia akan berhadapan dengan kekecewaan dari anaknya atas suatu sikap. Satu dua kali orang dewasa menghadiahi anak atas pekerjaannya membereskan mainan, tentu menyenangkan. Namun, untuk membahagiakan anak itu seorang dewasa harus mengerti kapan dia harus berhenti menghadiahinya untuk pekerjaan yang sama.
Kita tidak bisa selalu bermain menjadi polisi yang baik kepada anak-anak. Berhenti memberinya hadiah akan membuat mereka marah. Kita hanya perlu melakukan sesuatu hal untuk meyakinkan anak itu kalau mendapatkan hadiah untuk pekerjaan yang sama sesungguhnya tidak baik. Arahkan dia untuk menyelesaikan pekerjaan yang lain untuk mendapatkan ‘permen’ lagi, dengan memastikan pekerjaan pertamanya akan menjadi kebiasaan.
Gunakan tongkat anda
Pendidikan parenting modern telah sangat mengesampingkan simbol tongkat ini. Pada masa lampau, orang tua menggunakan rotan sebagai alat pendisiplinan. Dan kebanyakan berhasil. Ketegasan terhadap anak, saat ini menjadi terlalu sensitif dengan kekerasan. Kasus guru-guru yang dilaporkan cukup banyak mengandung unsur sensivitas HAM ini. Guru atau orang tua yang masih menerapkan gaya lama dalam mendidik anak, dengan mencubit, merotani, meenyruh anak-anak berlutut, malah dianggap sebagai tindakan kekerasan terhadap anak.
Orang dewasa semestinya mampu membedakan sikap menggembleng anak dengan sikap menganiaya. Memang, beberapa kasus mencakup peristiwa ketika orang dewasa melewati batas-batas ketegasan menuju ke kekerasan. Tetapi jika semua perlakuan terhadap anak yang menggunakann tongkat diasumsikan sebagai pelanggaran HAM, maka kita barangkali belajar lagi.
“Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktu.” – Amsal 13:24